Tuesday, October 10, 2017

Aku dan Depresi

10 Oktober 2017

Hari ini diperingati sebagai World Mental Health Day. Sedari tadi aku melihat banyak teman-temanku berbagi artikel maupun catatan mengenai kesehatan mental di berbagai sosial media. Berangkat dari tulisan mereka, di sini aku ingin berbagi pengalamanku menghadapi depresi. Well, tidak banyak yang tahu kalau aku sempat mengalami depresi ringan selama kuliah di Inggris. Kejadian ini berlangsung sekitar akhir musim dingin tahun 2017. Oh iya, depresi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi ketika suasana hati kita mengalami kesedihan yang berkepanjangan sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, hingga tidak memiliki motivasi untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Setidaknya itu kesimpulanku dari berbagai sumber mengenai definisi dari depresi.

Ketika kalian mendengar kata "kuliah di luar negeri", mungkin kalian membayangkan "travelling". Paling tidak itu yang terlihat dari berbagai akun sosial media teman-teman yang berkuliah di luar negeri. Tapi percayalah, kehidupan kami sebenarnya tidak se-glamor yang kami perlihatkan di sosial media. Kami hanya tidak pernah berbagi ekspresi mata panda akibat bergadang di perpustakaan sampai jam tiga pagi. Atau ketika kami harus berjuang memahami penjelasan dosen di kelas yang disampaikan dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang terkadang susah dimengerti. Belum lagi ditambah dengan perasaan homesick. Perubahan musim pun bisa mempengaruhi mood kami. Apalagi jika kalian tinggal di Inggris, negara dengan ketidakpastian cuaca. Bayangkan saja dalam satu hari bisa terjadi badai, hujan es dan diakhiri dengan sinar matahari yang menyengat. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap mood kami. Aku sendiri sempat mengalami depresi ringan. 

Akhir musim dingin 2017, berbagai kejadian menyebabkan aku mengalami depresi ringan. Mulai dari masalah akademik seperti deadline essays, persiapan ujian dan disertasi, dikombinasikan dengan masalah pribadi seperti Ibuku yang sakit di tanah air serta sepupu dekatku yang meninggal. Sedih rasanya tidak bisa berbuat apapun untuk mereka, mengingat aku sedang berada di Inggris. Semua hal yang terjadi pada saat bersamaan itu memicu depresi ringan. Aku menggambarkan perasaan itu sebagai 'mati rasa'. Tidak bisa merasakan apapun. Heartless. Ditambah insomnia, sesuatu yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Alhamdulillah, aku berhasil melewati semua itu dengan sangat baik dan bisa menghadirkan senyuman seperti yang aku bagi di akun sosial media.

Kampusku, University of Birmingham, dan berdasarkan cerita teman-temanku, kampus-kampus lain di Inggris, sangat concern terhadap permasalahan kesehatan mental. Aku masih ingat bagaimana pihak kampus sudah memberikan warning kepada mahasiswa, khususnya international students mengenai kesehatan mental dan cara mengatasinya, di awal masa perkuliahan. Kampus bahkan sudah menawarkan bantuan berupa konseling kepada mahasiswa yang mengalami depresi. Karena tidak ingin depresi ringanku berubah menjadi depresi berat, aku memutuskan meminta bantuan konseling ini. Semua aku lakukan demi keberlangsungan jalan-jalanku kehidupan akademikku. Agar aku tidak failed dalam menempuh perkuliahan yang dibiayai oleh uang negara ini. Jangan sampai uang negara sia-sia hanya karena aku depresi. Oh iya, kalau di Indonesia berkonsultasi dengan psikolog masih dianggap tabu, tidak demikian dengan di Inggris. Orang-orang di Inggris menganggap orang-orang dengan masalah kesehatan mental harus dibantu agar tidak berujung pada hal-hal mengerikan seperti bunuh diri, bukan dijauhi dan dianggap gila.

Akhirnya aku mendaftar sesi konsultasi dengan konselor di kampus. Konsultasi terdiri dari tiga sesi. Tapi ini semua tergantung pada tingkat depresi kita. Sebelumnya aku diminta untuk mengisi kuesioner. Pada sesi pertama, konselor-ku menekankan bahwa kehadiran dia hanya bertujuan membuat aku merasa lebih baik dan siap menghadapi masalah, bukan untuk menyelesaikan masalah. Aku tidak tahu pada kasus yang lain, tapi pada kasusku, aku merasa terkadang yang dibutuhkan oleh orang yang mengalami depresi adalah orang yang mau mendengarkan kita. Setelah menceritakan detail masalahku, jujur aku merasa jauh lebih baik. Konselor-ku memberikan beberapa saran untukku di masa depan nanti, jika dia tidak lagi bisa menjadi "tempat curhat"-ku, seperti: aku harus mulai mempercayai orang lain untuk menceritakan masalah-masalahku. Menemukan teman yang dapat sepenuhnya dipercaya memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak ada. Jika teman-temanku mempercayai aku untuk menceritakan masalah mereka, tandanya masih ada orang yang bisa dipercaya untuk berbagi masalah kita. Oh iya, aku sendiri sebelumnya memiliki trust issue. Dengan ingatan yang cukup kuat, aku bisa mengingat bagaimana dulu teman dekatku menceritakan curhatanku kepada orang lain. Kenangan masa remaja yang tidak semudah itu aku lupakan.

Sesi kedua difokuskan untuk menumbuhkan rasa kepercayaanku kepada orang lain. Kepada temanku. Konselor-ku memberikan tips bagaimana aku bisa mempercayai seorang teman. Selain itu, dia juga menyarankan agar aku menjaga hidupku tetap seimbang. Jangan terlalu memforsir diriku dengan kegiatan akademik dan karir. Sesekali aku juga harus jalan-jalan dan refreshing. Jadi inilah motivasiku untuk jalan-jalan di sela-sela kehidupan akademikku *ngeles*. Sesi ketiga sendiri difokuskan untuk melihat tren selama dua sesi konsultasi dan juga feedback. Konselor-ku merasa bahagia dengan progress-ku mengatasi depresi. Dia juga memuji bagaimana aku sama sekali tidak memiliki kecenderungan untuk bunuh diri meskipun aku mengalami kesedihan berkepanjangan. Hah, aku masih ingin hidup lama dan sehat untuk menjelajahi dunia dan menambah stempel paspor-ku. Hahaha.

Selain konselor-ku, aku juga ingin berterima kasih kepada teman-teman yang selama ini membantuku keluar dari depresi. Pada awalnya tidak mudah untuk menceritakan ini semua kepada mereka, mengingat image-ku yang selama ini ceria dan hanya berkutat soal tiket murah ataupun menikmati British Afternoon Tea. Dan aku juga bukan tipe orang yang dengan mudahnya mengungkapkan perasaan begitu saja. Tapi seperti kata konselor-ku, aku harus mulai mempercayai teman-temanku. Sama seperti mereka mempercayaiku. Meskipun aku harus hati-hati meletakkan kepercayaanku. Reaksi pertama mereka: kaget. Mereka tidak menyangka kehidupanku yang terlihat sempurna seperti postingan di instagram-ku ternyata menyimpan drama di baliknya. Reaksi kedua (dan yang membuat aku terharu): mereka menyemangatiku, sesuatu yang masih mereka lakukan sampai sekarang setelah aku menyelesaikan studi-ku di Inggris.

Satu hal lagi yang penting di saat mengalami depresi (setidaknya dari pengalamanku): mendekatlah pada Tuhan. Siapapun Tuhanmu, apapun agama dan kepercayaanmu. Karena percaya akan kekuatan tak terlihat yang dapat membantu kita keluar dari semua permasalahan hidup dapat menumbuhkan semangat untuk menjalani hidup. Dan aku mulai mencoba mendekatkan diri kepada Allah. Meminta pertolongan-Nya. Di saat konselor dan teman-temanku tidak bisa hadir untuk mendengarkan curhatanku, akan selalu ada Dia yang bisa "dihubungi" kapanpun aku membutuhkan-Nya. Menangis di hadapan Allah setiap malam ternyata sangat membantu membuatku merasa lega dan berpikir jernih.

Di akhir tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada konselor dari University of Birmingham, yang tidak bisa aku sebutkan namanya di sini. Terima kasih untuk semua teman-teman yang sudah rela aku sampahi dan terus menyemangatiku. Untuk kamu semua yang mengalami depresi, jangan pernah takut mengakui kalau kamu depresi. Coming out is an early stage to solve your mental health problem. Jika kamu sudah mengakui dan menerima kondisimu, kamu akan tahu bagaimana kamu dapat menolong dirimu. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa.


No comments:

Post a Comment