Saturday, August 12, 2017

Catatan Rindu untuk Bapak dan Ibu

"Pie Cis, pesawat e iso mudun Semarang kan? Ibu wes kangen banget karo kowe" (Gimana Cis, pesawatnya bisa turun di Semarang kan? Ibu sudah sangat merindukanmu)
PS: Cis adalah nickname-ku di antara keluarga.

Begitulah yang selalu dikatakan Ibuku akhir-akhir ini setiap kali kami berbincang di telepon. Bapak sebetulnya juga sama saja, tapi beliau kurang ekspresif dan gemar mengalihkan pembicaraan menjadi semacam: Sebelum pulang sempet mampir Old Trafford lagi nggak kira-kira? Ah, Bapak memang bukan tipe orang yang dengan mudah mengungkapkan perasaan, sifat yang menurun kepadaku. Kami berdua sama-sama lebih suka mengungkapkan perasaan dalam tulisan dibandingkan lisan.

Menurutku, hal yang paling berat saat tinggal di luar negeri adalah ketika aku merindukan keluarga dan teman-temanku di Indonesia, terutama Bapak dan Ibu, meskipun aku juga rindu dengan Mas Boniek, Teteh Eni dan tiga orang keponakanku: Zhiifah, Ei, dan Ikhsan (meskipun aku belum pernah bertemu dengan si bungsu yang lahir ketika aku berada di Inggris). Di balik foto-foto Instagram yang terkesan "wah" dan "hore", sesungguhnya terselip air mata kerinduan untuk mereka semua. Dan aku bukan orang yang dengan mudah bilang: "Pak, Bu, aku kangen rumah." "Aku kangen sayur asam buatan Ibu." "Aku kangen dibonceng Bapak naik motor cari mie rebus malam-malam." Bisa-bisa mereka menangis kalau sampai mendengarku bicara begitu. Jadilah aku memendam kerinduan ini dalam diam. And I think I'm good at it.

Ada satu alasan kenapa terkadang aku suka menyendiri: sehingga aku tidak perlu tetap berusaha keras tersenyum. Ada hal-hal dalam perjalanan yang terkadang menyentuh hatiku, mengingatkanku kepada Bapak dan Ibu. Hal-hal kecil seperti orang tua yang mengajak anaknya bepergian dengan kereta, menjelaskan bagaimana kereta beroperasi dan mengobrol ringan. Aku teringat salah satu perjalanan dengan kereta bersama orang tuaku.

Waktu itu usiaku 4 tahun. Beberapa waktu sebelumnya, Bapak berjanji kepada kami akan mengajak ke Jakarta naik kereta kalau Mas Arief, kakak pertamaku sembuh. Well, although he couldn't make it but Bapak took me and Mas Boniek to Jakarta by train. Perjalanan pertamaku naik kereta, dimana Ibu dengan sabar menjelaskan kepadaku bagaimana palang kereta di utara Jawa bekerja, sehingga tidak ada kejadian kereta bertabrakan dengan kendaraan lain. Tidak seperti di Inggris, kereta dan kendaraan darat lain di Indonesia masih harus berbagi jalur.

Dan aku termasuk anak yang sangat beruntung. Ketika orang lain cenderung suka mengajak anak-nya ke mal, Bapak dan Ibu lebih suka mengajakku ke tempat-tempat yang alami seperti kebun karet atau kebun kopi. Tempat di mana Cesty kecil biasa berlari-lari, dimana Ibu menunggu di atas tikar dengan bekal yang dibawa dari rumah. Sesuatu yang banyak aku temukan di Inggris, di saat matahari menyapa, sesuatu yang membawaku kembali ke masa kecil.

Berapa kali orang tuaku main tangan? Jawabannya: tidak pernah sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah mengumpat di depanku. Tapi mereka juga tidak pernah selalu membabi buta membelaku. Jika aku pulang menangis dan mengadu kenakalan temanku kepada Ibu, jawaban pertama Ibu adalah: kalau kamu dinakalin, mungkin kamu yang nakal duluan. Hal kecil yang sekarang aku tahu merupakan pembelajaran agar aku tidak dengan mudah menyalahkan orang lain.

Satu lagi pesan Ibuku yang akan selalu aku ingat: kalau suatu hari kamu sudah berkeluarga dan suamimu pulang dalam keadaan mabuk, tolong jangan dimarahin. Ditanya baik-baik sudah makan atau belum, mau mandi pakai air hangat apa nggak, terus siapkan teh. Karena marah dan emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Ya, Ibu benar. Kasih sayang dan kesabaran adalah kunci untuk menyelesaikan banyak hal.

Meskipun ada ratusan alasan untuk menetap di sini, ada satu alasan yang lebih kuat dari semuanya untuk tetap pulang: Bapak dan Ibu.

Bapak, Ibu, sampai jumpa bulan depan, ya. Tolong siapkan pelukan hangat untukku di bandara nanti.



Birmingham, 12 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment