Sunday, November 19, 2017

Two Months Later

19 September 2017

Tepat dua bulan yang lalu, aku meninggalkan Inggris dan kembali ke Indonesia. For good, karena aku telah sukses menyelesaikan studiku di University of Birmingham. Aku berhasil menyelesaikan disertasi tepat pada waktunya dan lulus di semua mata kuliah yang aku ikuti. Alhamdulillah. Tiba saatnya aku kembali ke tanah air dan mengabdi, kembali ke rutinitasku sebelum melanjutkan pendidikan. Jujur, itu adalah saat terberat dalam hidupku. Di satu sisi, aku senang akan bertemu dengan keluarga dan teman-temanku di Indonesia. Tapi di sisi lain, aku sedih harus meninggalkan kehidupanku di Inggris yang penuh dengan kenyamanan.

Ya, hidupku selama satu tahun di Inggris terasa begitu mudah. Memang kelas-kelasku terasa berat, apalagi kalau harus bergadang demi deadlines. Tapi dengan supporting system yang ada, semua bisa terlalui dengan baik. Yang membuat aku akan merindukan kehidupan di Inggris sesungguhnya adalah hal-hal kecil. Seperti tidur siang... atau menikmati secangkir teh di taman... atau pergi ke tempat baru sendirian dan mengenal lebih dekat kehidupan di sana. Hal-hal kecil yang sulit aku temui begitu kembali ke Indonesia.

Ketika mendarat di Jakarta, belum-belum aku mengalami culture shock. Di negara sendiri padahal. Mulai dari kebiasaan orang Indonesia yang sulit antri, sampai kaget melihat begitu banyak orang lalu-lalang di bandara. Dan ternyata tidak mudah untuk kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan di Indonesia, setelah setahun pergi. Lebih sulit daripada menyesuaikan diri dengan kehidupan di Inggris setahun sebelumnya. Padahal di sini, aku tidak mengalami kendala bahasa. Hari-hari pertamaku di Indonesia tidak mudah. Serangan jetlag pasti aku alami, meskipun tidak terlalu parah karena waktu tidur malam di Indonesia sama dengan waktu tidur siang di Inggris. Baru beberapa hari sampai di Indonesia, aku jatuh sakit. Butuh waktu lama sampai aku benar-benar siap untuk kembali ke rutinitasku. Kembali ke kantor.

Meskipun sulit, aku berhasil. Dua bulan kemudian, aku masih bernafas dengan baik. Aku juga masih bisa tersenyum. Kehidupan di sini mungkin tidak semudah kehidupan di Inggris dulu (yang setiap bangun tidur hanya memikirkan "mau ngeteh di mana" dan "mau beli tiket ke mana"). Aku merindukan banyak hal dari kehidupanku di Inggris. Seperti tidur siang. But in the end, I survive. Supporting system in Indonesia is probably not as good as the one in UK, but I'm surrounded by people who always give their fully support.

After all, kehidupan di Indonesia bukan sesuatu yang buruk. Dengan adanya keluarga dan teman-teman baikku, didukung oleh makanan lezat dan kemudahan hidup seperti Go***, nikmat mana yang aku dustakan? Mungkin di sini, sulit bagiku untuk tidur siang dengan nyaman. Atau gegoleran di rerumputan sambil ngemil almond. Tapi aku punya keluarga dan teman-teman yang menyayangiku. Tentu saja aku masih merindukan Inggris. Ada bagian dari kehidupanku di sana yang berusaha untuk tetap aku jaga. Seperti budaya masyarakat Inggris yang sangat sopan. But in the end life must go on

At last, I would like to quote what Imagine Dragons once said:

It's gotta get easier... easier...  Somehow... 
But Not Today... 

Tuesday, October 10, 2017

Aku dan Depresi

10 Oktober 2017

Hari ini diperingati sebagai World Mental Health Day. Sedari tadi aku melihat banyak teman-temanku berbagi artikel maupun catatan mengenai kesehatan mental di berbagai sosial media. Berangkat dari tulisan mereka, di sini aku ingin berbagi pengalamanku menghadapi depresi. Well, tidak banyak yang tahu kalau aku sempat mengalami depresi ringan selama kuliah di Inggris. Kejadian ini berlangsung sekitar akhir musim dingin tahun 2017. Oh iya, depresi sendiri dapat diartikan sebagai kondisi ketika suasana hati kita mengalami kesedihan yang berkepanjangan sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, hingga tidak memiliki motivasi untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Setidaknya itu kesimpulanku dari berbagai sumber mengenai definisi dari depresi.

Ketika kalian mendengar kata "kuliah di luar negeri", mungkin kalian membayangkan "travelling". Paling tidak itu yang terlihat dari berbagai akun sosial media teman-teman yang berkuliah di luar negeri. Tapi percayalah, kehidupan kami sebenarnya tidak se-glamor yang kami perlihatkan di sosial media. Kami hanya tidak pernah berbagi ekspresi mata panda akibat bergadang di perpustakaan sampai jam tiga pagi. Atau ketika kami harus berjuang memahami penjelasan dosen di kelas yang disampaikan dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang terkadang susah dimengerti. Belum lagi ditambah dengan perasaan homesick. Perubahan musim pun bisa mempengaruhi mood kami. Apalagi jika kalian tinggal di Inggris, negara dengan ketidakpastian cuaca. Bayangkan saja dalam satu hari bisa terjadi badai, hujan es dan diakhiri dengan sinar matahari yang menyengat. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap mood kami. Aku sendiri sempat mengalami depresi ringan. 

Akhir musim dingin 2017, berbagai kejadian menyebabkan aku mengalami depresi ringan. Mulai dari masalah akademik seperti deadline essays, persiapan ujian dan disertasi, dikombinasikan dengan masalah pribadi seperti Ibuku yang sakit di tanah air serta sepupu dekatku yang meninggal. Sedih rasanya tidak bisa berbuat apapun untuk mereka, mengingat aku sedang berada di Inggris. Semua hal yang terjadi pada saat bersamaan itu memicu depresi ringan. Aku menggambarkan perasaan itu sebagai 'mati rasa'. Tidak bisa merasakan apapun. Heartless. Ditambah insomnia, sesuatu yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Alhamdulillah, aku berhasil melewati semua itu dengan sangat baik dan bisa menghadirkan senyuman seperti yang aku bagi di akun sosial media.

Kampusku, University of Birmingham, dan berdasarkan cerita teman-temanku, kampus-kampus lain di Inggris, sangat concern terhadap permasalahan kesehatan mental. Aku masih ingat bagaimana pihak kampus sudah memberikan warning kepada mahasiswa, khususnya international students mengenai kesehatan mental dan cara mengatasinya, di awal masa perkuliahan. Kampus bahkan sudah menawarkan bantuan berupa konseling kepada mahasiswa yang mengalami depresi. Karena tidak ingin depresi ringanku berubah menjadi depresi berat, aku memutuskan meminta bantuan konseling ini. Semua aku lakukan demi keberlangsungan jalan-jalanku kehidupan akademikku. Agar aku tidak failed dalam menempuh perkuliahan yang dibiayai oleh uang negara ini. Jangan sampai uang negara sia-sia hanya karena aku depresi. Oh iya, kalau di Indonesia berkonsultasi dengan psikolog masih dianggap tabu, tidak demikian dengan di Inggris. Orang-orang di Inggris menganggap orang-orang dengan masalah kesehatan mental harus dibantu agar tidak berujung pada hal-hal mengerikan seperti bunuh diri, bukan dijauhi dan dianggap gila.

Akhirnya aku mendaftar sesi konsultasi dengan konselor di kampus. Konsultasi terdiri dari tiga sesi. Tapi ini semua tergantung pada tingkat depresi kita. Sebelumnya aku diminta untuk mengisi kuesioner. Pada sesi pertama, konselor-ku menekankan bahwa kehadiran dia hanya bertujuan membuat aku merasa lebih baik dan siap menghadapi masalah, bukan untuk menyelesaikan masalah. Aku tidak tahu pada kasus yang lain, tapi pada kasusku, aku merasa terkadang yang dibutuhkan oleh orang yang mengalami depresi adalah orang yang mau mendengarkan kita. Setelah menceritakan detail masalahku, jujur aku merasa jauh lebih baik. Konselor-ku memberikan beberapa saran untukku di masa depan nanti, jika dia tidak lagi bisa menjadi "tempat curhat"-ku, seperti: aku harus mulai mempercayai orang lain untuk menceritakan masalah-masalahku. Menemukan teman yang dapat sepenuhnya dipercaya memang tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak ada. Jika teman-temanku mempercayai aku untuk menceritakan masalah mereka, tandanya masih ada orang yang bisa dipercaya untuk berbagi masalah kita. Oh iya, aku sendiri sebelumnya memiliki trust issue. Dengan ingatan yang cukup kuat, aku bisa mengingat bagaimana dulu teman dekatku menceritakan curhatanku kepada orang lain. Kenangan masa remaja yang tidak semudah itu aku lupakan.

Sesi kedua difokuskan untuk menumbuhkan rasa kepercayaanku kepada orang lain. Kepada temanku. Konselor-ku memberikan tips bagaimana aku bisa mempercayai seorang teman. Selain itu, dia juga menyarankan agar aku menjaga hidupku tetap seimbang. Jangan terlalu memforsir diriku dengan kegiatan akademik dan karir. Sesekali aku juga harus jalan-jalan dan refreshing. Jadi inilah motivasiku untuk jalan-jalan di sela-sela kehidupan akademikku *ngeles*. Sesi ketiga sendiri difokuskan untuk melihat tren selama dua sesi konsultasi dan juga feedback. Konselor-ku merasa bahagia dengan progress-ku mengatasi depresi. Dia juga memuji bagaimana aku sama sekali tidak memiliki kecenderungan untuk bunuh diri meskipun aku mengalami kesedihan berkepanjangan. Hah, aku masih ingin hidup lama dan sehat untuk menjelajahi dunia dan menambah stempel paspor-ku. Hahaha.

Selain konselor-ku, aku juga ingin berterima kasih kepada teman-teman yang selama ini membantuku keluar dari depresi. Pada awalnya tidak mudah untuk menceritakan ini semua kepada mereka, mengingat image-ku yang selama ini ceria dan hanya berkutat soal tiket murah ataupun menikmati British Afternoon Tea. Dan aku juga bukan tipe orang yang dengan mudahnya mengungkapkan perasaan begitu saja. Tapi seperti kata konselor-ku, aku harus mulai mempercayai teman-temanku. Sama seperti mereka mempercayaiku. Meskipun aku harus hati-hati meletakkan kepercayaanku. Reaksi pertama mereka: kaget. Mereka tidak menyangka kehidupanku yang terlihat sempurna seperti postingan di instagram-ku ternyata menyimpan drama di baliknya. Reaksi kedua (dan yang membuat aku terharu): mereka menyemangatiku, sesuatu yang masih mereka lakukan sampai sekarang setelah aku menyelesaikan studi-ku di Inggris.

Satu hal lagi yang penting di saat mengalami depresi (setidaknya dari pengalamanku): mendekatlah pada Tuhan. Siapapun Tuhanmu, apapun agama dan kepercayaanmu. Karena percaya akan kekuatan tak terlihat yang dapat membantu kita keluar dari semua permasalahan hidup dapat menumbuhkan semangat untuk menjalani hidup. Dan aku mulai mencoba mendekatkan diri kepada Allah. Meminta pertolongan-Nya. Di saat konselor dan teman-temanku tidak bisa hadir untuk mendengarkan curhatanku, akan selalu ada Dia yang bisa "dihubungi" kapanpun aku membutuhkan-Nya. Menangis di hadapan Allah setiap malam ternyata sangat membantu membuatku merasa lega dan berpikir jernih.

Di akhir tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada konselor dari University of Birmingham, yang tidak bisa aku sebutkan namanya di sini. Terima kasih untuk semua teman-teman yang sudah rela aku sampahi dan terus menyemangatiku. Untuk kamu semua yang mengalami depresi, jangan pernah takut mengakui kalau kamu depresi. Coming out is an early stage to solve your mental health problem. Jika kamu sudah mengakui dan menerima kondisimu, kamu akan tahu bagaimana kamu dapat menolong dirimu. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa.


Saturday, August 12, 2017

Catatan Rindu untuk Bapak dan Ibu

"Pie Cis, pesawat e iso mudun Semarang kan? Ibu wes kangen banget karo kowe" (Gimana Cis, pesawatnya bisa turun di Semarang kan? Ibu sudah sangat merindukanmu)
PS: Cis adalah nickname-ku di antara keluarga.

Begitulah yang selalu dikatakan Ibuku akhir-akhir ini setiap kali kami berbincang di telepon. Bapak sebetulnya juga sama saja, tapi beliau kurang ekspresif dan gemar mengalihkan pembicaraan menjadi semacam: Sebelum pulang sempet mampir Old Trafford lagi nggak kira-kira? Ah, Bapak memang bukan tipe orang yang dengan mudah mengungkapkan perasaan, sifat yang menurun kepadaku. Kami berdua sama-sama lebih suka mengungkapkan perasaan dalam tulisan dibandingkan lisan.

Menurutku, hal yang paling berat saat tinggal di luar negeri adalah ketika aku merindukan keluarga dan teman-temanku di Indonesia, terutama Bapak dan Ibu, meskipun aku juga rindu dengan Mas Boniek, Teteh Eni dan tiga orang keponakanku: Zhiifah, Ei, dan Ikhsan (meskipun aku belum pernah bertemu dengan si bungsu yang lahir ketika aku berada di Inggris). Di balik foto-foto Instagram yang terkesan "wah" dan "hore", sesungguhnya terselip air mata kerinduan untuk mereka semua. Dan aku bukan orang yang dengan mudah bilang: "Pak, Bu, aku kangen rumah." "Aku kangen sayur asam buatan Ibu." "Aku kangen dibonceng Bapak naik motor cari mie rebus malam-malam." Bisa-bisa mereka menangis kalau sampai mendengarku bicara begitu. Jadilah aku memendam kerinduan ini dalam diam. And I think I'm good at it.

Ada satu alasan kenapa terkadang aku suka menyendiri: sehingga aku tidak perlu tetap berusaha keras tersenyum. Ada hal-hal dalam perjalanan yang terkadang menyentuh hatiku, mengingatkanku kepada Bapak dan Ibu. Hal-hal kecil seperti orang tua yang mengajak anaknya bepergian dengan kereta, menjelaskan bagaimana kereta beroperasi dan mengobrol ringan. Aku teringat salah satu perjalanan dengan kereta bersama orang tuaku.

Waktu itu usiaku 4 tahun. Beberapa waktu sebelumnya, Bapak berjanji kepada kami akan mengajak ke Jakarta naik kereta kalau Mas Arief, kakak pertamaku sembuh. Well, although he couldn't make it but Bapak took me and Mas Boniek to Jakarta by train. Perjalanan pertamaku naik kereta, dimana Ibu dengan sabar menjelaskan kepadaku bagaimana palang kereta di utara Jawa bekerja, sehingga tidak ada kejadian kereta bertabrakan dengan kendaraan lain. Tidak seperti di Inggris, kereta dan kendaraan darat lain di Indonesia masih harus berbagi jalur.

Dan aku termasuk anak yang sangat beruntung. Ketika orang lain cenderung suka mengajak anak-nya ke mal, Bapak dan Ibu lebih suka mengajakku ke tempat-tempat yang alami seperti kebun karet atau kebun kopi. Tempat di mana Cesty kecil biasa berlari-lari, dimana Ibu menunggu di atas tikar dengan bekal yang dibawa dari rumah. Sesuatu yang banyak aku temukan di Inggris, di saat matahari menyapa, sesuatu yang membawaku kembali ke masa kecil.

Berapa kali orang tuaku main tangan? Jawabannya: tidak pernah sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah mengumpat di depanku. Tapi mereka juga tidak pernah selalu membabi buta membelaku. Jika aku pulang menangis dan mengadu kenakalan temanku kepada Ibu, jawaban pertama Ibu adalah: kalau kamu dinakalin, mungkin kamu yang nakal duluan. Hal kecil yang sekarang aku tahu merupakan pembelajaran agar aku tidak dengan mudah menyalahkan orang lain.

Satu lagi pesan Ibuku yang akan selalu aku ingat: kalau suatu hari kamu sudah berkeluarga dan suamimu pulang dalam keadaan mabuk, tolong jangan dimarahin. Ditanya baik-baik sudah makan atau belum, mau mandi pakai air hangat apa nggak, terus siapkan teh. Karena marah dan emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Ya, Ibu benar. Kasih sayang dan kesabaran adalah kunci untuk menyelesaikan banyak hal.

Meskipun ada ratusan alasan untuk menetap di sini, ada satu alasan yang lebih kuat dari semuanya untuk tetap pulang: Bapak dan Ibu.

Bapak, Ibu, sampai jumpa bulan depan, ya. Tolong siapkan pelukan hangat untukku di bandara nanti.



Birmingham, 12 Agustus 2017

Tuesday, May 16, 2017

Five Months to Go

When You Get a Groove Going, Time Flies (Donald Fagen)

Tidak terasa tujuh bulan sudah aku tinggal di Birmingham, kota terbesar kedua di Inggris Raya, menjalani kehidupanku sebagai seorang pelajar. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku menginjakan kaki di Birmingham International Airport, mengikuti induction week di kampus, masuk kelas pertama-ku, dan sederetan memori lainnya yang ingin aku lekatkan di ingatanku.

18 September 2016, hari di mana aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Birmingham, tepat di siang hari. Hari di mana aku akan mulai menempuh pendidikan selama setahun.  Kesan pertama yang aku dapat saat tiba di Birmingham International Airport: takjub melihat bandara internasional ini ternyata dilengkapi dengan fasilitas tempat sholat. Awal yang baik untuk menghapus kekhawatiranku menjalani hidup sebagai minoritas di Inggris.

Sampailah aku di bagian Birmingham yang bernama Selly Oak, sebuah desa di pinggiran kota Birmingham yang lokasinya dekat dengan kampusku, University of Birmingham. Di desa inilah aku tinggal. Jarak Selly Oak menuju pusat kota Birmingham sekitar 20 menit menggunakan bis atau 10 menit dengan kereta. Sebagai kota terbesar kedua di Inggris, fasilitas di Birmingham sangat lengkap meskipun tidak terlalu berlebihan. Bahkan ada Chatime di salah satu pusat perbelanjaannya (ini penting banget!!!). Birmingham adalah kota yang nyaman untuk hidup, meskipun tidak banyak tourist attractions di sini. Tapi aku sudah cukup bahagia bisa duduk di pinggir kanal bersama segelas green tea latte. Setidaknya sampai aku harus beranjak karena masuk angin.

Sebagai seorang Muslim, awalnya aku merasa khawatir kesulitan untuk melaksanakan ibadah maupun menemukan makanan halal di Birmingham. Anggapan ini kemudian pupus, saat melihat sederetan tempat makan halal di Selly Oak, daerah tempat tinggalku. Sebagian besar tempat makan di Selly Oak telah mengantongi sertifikat halal. Begitupun dengan tempat makan di Kota Birmingham dan Inggris secara keseluruhan. Ini menjadi alasan kenapa aku begitu menikmati masa-masa menempuh pendidikan di Birmingham. Dan sekarang waktuku di sini hanya tersisa sekitar lima bulan lagi, sebelum aku kembali ke Indonesia, sebelum aku kembali ke kenyataan.

Di satu sisi aku bersyukur kehidupanku di sini berjalan dengan sangat lancar. Aku juga senang akan segera berjumpa dengan keluarga dan teman-temanku di Indonesia. Aku akan kembali menikmati makanan-makanan kesukaanku. Aku tidak perlu lagi susah-susah mencari tempat yang memungkinkan untuk beribadah ketika sedang travelling, karena mudah sekali menemukan mushola di Indonesia.

Tapi di sisi lain, aku pasti akan sangat merindukan kehidupanku sebagai pelajar di Birmingham. Aku akan merindukan masa-masa mengenakan pakaian kasual- t-shirt, jaket, celana jeans dan sepatu kets dengan tas ransel- sesuatu yang tidak mungkin aku kenakan saat kembali ke kantor. Aku akan merindukan sapaan kasir di Aldi, minimarket di depan tempat tinggalku semacam "Hey, are you alright?". Aku akan merindukan duduk di rerumputan di Winterbourne House and Garden, menikmati afternoon tea kesukaanku, ataupun membaca buku di salah satu bangku taman -sampai masuk angin. Aku akan merindukan menjadi impulsif, tiba-tiba membeli tiket kereta untuk pergi ke sisi lain Inggris dan berpetualang sendirian. Dan yang paling penting, aku akan merindukan semua teman-teman yang sudah menemani perjalananku selama menempuh pendidikan di Birmingham, orang-orang yang berhasil membuatku melupakan homesick dan terhindar dari winter blues.

Birmingham, kota di mana aku banyak belajar mengenai kehidupan, saat aku berada 10 ribu mil dari rumah dan jauh dari keluarga. Aku berharap, saat aku kembali ke Indonesia, aku bisa membawa bagian diriku yang lebih berani dan ceria untuk bekal kehidupanku selanjutnya. Sungguh, aku bersyukur atas kesempatan merasakan pengalaman yang luar biasa ini.

Untuk sekarang, aku masih memiliki sisa waktu selama lima bulan. We don't know how long we are going to live, so I choose to live in the moment. Aku akan menikmati waktuku yang tersisa selama di sini, mengukir kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan setiap detiknya. Meskipun aku tahu, akan ada serpihan jiwaku yang akan selalu tertinggal di tempat ini.

So, five months to go and I'll be home.

Tuesday, February 21, 2017

After Six Months

Waktu begitu cepat berlalu. Tidak terasa hampir enam bulan aku tinggal di Birmingham, sebuah kota di Inggris yang berjarak sekitar 10 ribu mil dari rumahku. Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di Birmingham International Airport, dijemput oleh Mas Andrie yang akhirnya menjadi housemate-ku, keliling mencari akomodasi, kebingungan memesan makanan di tempat makan sepanjang Selly Oak, berkeliling city center bersama Mas Ardi sebelum dia pulang ke Indo, dan sekarang aku sudah bisa melakukan banyak hal sendiri selama tinggal di sini. Well, termasuk berkeliling ke kota-kota lain di Inggris seorang diri.

Kesanku tentang negara ini: aku sukaaaaa, tentu saja dengan mengesampingkan cuaca yang berubah-ubah semau sendiri (as my friend said: welcome to UK!) dan juga makanan. Kalau untuk makanan, masakan Indonesia masih juara di lidahku. Aku merindukan bebek madura di depan apartemen dulu, serta ayam kremes dan pecel lele di daerah Setiabudi. Yang jelas, aku rindu dengan semua masakan ibuku!!!

Sejauh ini aku tidak mengalami homesick yang parah. Kehidupan sosialku juga lebih baik daripada ketika tinggal di Jakarta. Bagaimana mau punya kehidupan sosial yang baik kalau sebagian besar waktu digunakan untuk menembus kemacetan Jakarta. Aku senang dengan orang-orang di sini, I make a lot of new friends in the past six months. Teman-teman sekelas-ku juga menyenangkan dan helpful

Aku bingung ketika orang bertanya hal yang paling aku sukai ketika tinggal di sini. Terlalu banyak. Aku senang tidak ada orang yang peduli ketika aku memakai jumper dan celana jeans ketika pergi ke kampus, lengkap dengan sepatu kets. Sesuatu yang tidak mungkin aku kenakan untuk pergi ke kantor. Aku senang dengan tradisi minum teh di Inggris. Aku senang dengan keramahan orang Inggris kepada para pendatang. Oh iya, sebagai seorang Muslim aku tidak menemukan kesulitan untuk beribadah ketika tinggal di Birmingham. Kota ini bahkan memiliki multi-faith room di stasiun-nya. Tempat tinggalku di sini juga dekat dengan masjid. Meskipun memang suara adzan tidak dikumandangkan dengan speaker.

Bagaimana dengan culture shock? Sejujurnya aku tidak menemukan kesulitan yang berarti. Masalah bahasa di awal-awal pasti lah aku hadapi, tapi sekarang aku sudah terbiasa. Kunci-nya: be yourself. Aku bersyukur teman-temanku memiliki rasa toleransi yang tinggi. Saat datang ke party mereka, aku selalu diberi menu masakan non-pork dan non-alcohol. I'm lucky to meet them! 

Kesanku tentang kota-kota lain di Inggris juga bagus. Sejauh ini aku baru ke London, Liverpool, Manchester, Bath, Oxford, York, Glasgow, Edinburgh, Lancaster dan Nottingham. Tidak termasuk kota-kota di sekitar Birmingham dengan waktu tempuh kurang dari satu jam ya. 

So after six months, I fall for this country. However, I still miss my home. I miss my family and the Indonesian foods. There's no more complain about the cold weather here, but like The Passenger says: only miss the sun when it starts to snow. 

Tuesday, January 31, 2017

Kisahku dan Secangkir Teh

I have an affair, with a cup of tea. Most of my friends say that whenever they see a cup of tea, they remember me. 

Banyak temanku berkata aku cocok tinggal di Inggris, negara dengan budaya minum teh di siang/sore hari atau yang biasa disebut dengan British Afternoon Tea. Tradisi minum teh di Inggris cukup unik. Teh disajikan bersama dengan camilan yang disusun dalam piring bertingkat atau three tier. Selain itu, orang Inggris biasa menambahkan sedikit susu ke dalam secangkir teh yang mereka nikmati. Budaya minum teh di Inggris menjadi waktu dimana orang saling bersosialisasi dan bercerita. Meskipun aslinya tradisi ini penuh dengan aturan tertentu, namun aku biasa menikmatinya dengan santai tanpa harus memperhatikan aturan macam table manner. Kecuali pada saat-saat tertentu.

Berikut salah satu ilustrasi kegiatan Afternoon Tea yang pernah aku lakukan:



Sudah lebih dari empat bulan aku tinggal di Inggris. Tapi sesungguhnya, kisahku bersama secangkir teh telah dimulai jauh sebelum ini. Terlahir dari keluarga Jawa, orang tuaku biasa memulai hari dengan secangkir teh. Begitupun di sore hari, saat Ibuku membuat secangkir teh yang disajikan bersama pisang goreng ataupun mendoan. Dan seketika aku rindu masa-masa itu. Meskipun teh yang dibuat ibuku bukan teh ala ala Inggris (dengan berbagai macam rasa), namun sampai dengan saat ini teh itu menjadi teh terenak yang pernah aku nikmati. Apalagi di saat hujan bersama sepiring pisang goreng hangat.

Beberapa tahun lalu, aku sempat melupakan teh. Aku lebih menyukai kopi. Bagiku, aroma kopi begitu menyenangkan. Sampai kemudian tubuhku mulai bermasalah karena secangkir kopi. Kemudian aku beralih pada teh. Temanku yang mengenalkan dengan macam-macam teh yang ada. Saat ini yang menjadi favoritku adalah black vanilla, chamomile, lemon ginger dan tentunya green tea latte. Aku bersyukur tinggal di Inggris, negara yang kaya dengan varian teh. Negara dimana aku sangat mudah menemukan teh dengan kualitas terbaik.

Tapi tetap saja, teh kepyur buatan Ibuku yang wangi, sepet, kental dan manis adalah favoritku sepanjang masa. Teman-temanku boleh bangga dengan berbagai macam minuman yang pernah mereka coba. Namun bagiku, secangkir teh cukup untuk membuatku tersenyum dan sejenak melupakan penat.

Saturday, December 31, 2016

Adios 2016, Bienvenido 2017

Good bye 2016, Welcome 2017

So this is the last night of 2016. Seperti biasa, aku menjalankan ritual malam tahun baru: stay home, makan enak, nonton sepuasnya, minum teh (tahun-tahun sebelumnya minum kopi, sebelum masalah lambung menerpa *halah*), baca buku dan tidur. Senang rasanya masih bisa menjalankan tradisi ini meskipun sedang jauh dari rumah. Pada awalnya aku memiliki banyak rencana untuk malam tahun baru, mulai dari pergi ke Skotlandia, nonton kembang api di London Eye, dan yang baru saja aku putuskan untuk batal: pergi ke Centenary Square, pusat perayaan tahun baru di Birmingham. Diam di rumah adalah pilihan tepat, untuk orang yang tidak menyukai keramaian seperti aku. I feel like I'm still me although I'm thousands miles away from home.

Seperti biasa saat malam tahun baru, aku melihat kembali apa yang terjadi selama satu tahun ke belakang. Awal 2016 sejujurnya tidak terlalu baik untukku, sampai bulan Maret dan April. Sampai akhirnya perlahan tapi pasti, 2016 menjadi tahun yang sangat menakjubkan. Satu demi satu wish list-ku terlaksana. Mulai dari berkunjung ke tempat Shakespeare, sampai menonton pertandingan Liverpool. Oke, tahun ini tidak ada agenda solo travelling, but hey I will definitely do it as soon as possible.

Overall, 2016 was so amazing. I got scholarship to pursue higher education -in the field I really like-, I moved on (finally), I found love -not only one but a lot of loves around me-, I made a lot of new friends, there's nothing to regret and I'm happy with my life. If there were some issues, well, that's what life is about. I wish in 2017, all of those problems will be solved well.

2017...
I'm ready, I must be. I wish for a better year in 2017. Bismillah... May Allah bless me and the loved ones to have a wonderful year ahead.

Bienvenido 2017, puedes ser un buen año para mi-Welcome 2017, may you be a good year for me.


Birmingham, 31 December 2016